Biografi Hasan bin Al Haytsam
Ilmuwan serba bisa ini bernama lengkap Abu Ali al-Hassan ibnu al-Haytham. Ia lebih dikenal sebagai al-Haytham. Dunia Barat menyebutnya sebagai Alhazen. Al-Haytham lahir di Basrah, Irak, pada 965 M dan wafat di Kairo, Mesir, pada 1040 M. Mengutip uraian dari sejarawan Ibn Qifti (1172-1248), al-Haytham mengawali pendidikan dasarnya di kota kelahirannya itu. Bahkan, ia ketika dewasa sempat menduduki jabatan hakim Namun, al-Haytham lantas memilih meletakkan jabatan tersebut. Sebab, ia mulai menyadari minat dan bakatnya sebagai ilmuwan, alih-alih pegawai birokrasi.
Meskipun sempat menolak, akhirnya
pemerintah tak bisa berbuat banyak. Rezim saat itu, Dinasti Buwayhid, kemudian
menerima surat pengunduran diri al-Haytham. Apalagi, yang bersangkutan sempat
pura-pura sakit agar permohonan resign itu diloloskan. Masyarakat memang mengenalnya
sebagai penulis brilian. Ia rajin menulis buku dalam berbagai bidang. Mulai
dari astronomi, fisika, matematika, filsafat, hingga sosial. Popularitasnya mencapai Mesir.
Al-Haytham lantas hijrah ke Negeri Piramida. Ia diterima dengan tangan terbuka
oleh Khalifah al-Hakim dari Dinasti Fathimiyah.
Sang Khalifah ingin agar al-Haytham membantunya dalam
menyelesaikan proyek pembangunan bendungan di Sungai Nil. Mulanya, ilmuwan itu
setuju untuk terlibat. Apalagi, ia melihat pekerjaan tersebut sebagai peluang
untuk menerapkan gagasan-gagasannya dalam bidang rekayasa (engineering).
Akan tetapi, ia lantas menyadari, rancangan dam tersebut jauh dari visi yang
ada. Banyak pula bagian-bagian yang gagal sehingga banjir tetap meluap ke area
sekitaran Nil. Al-Haytham pun mengungkapkan niat
untuk mengundurkan diri dari proyek tersebut. Namun, Khalifah al-Hakim menolaknya
dengan keras. Lantaran khawatir akan keselamatan dirinya, al-Haytham pun
berpura-pura gila sehingga penguasa memenjarakannya. Beruntung, ia lolos dari
hukuman mati sebab Khalifah al-Hakim keburu meninggal dunia. Setelah itu,
al-Haytham pun dibebaskan. Seluruh hartanya dikembalikan kepadanya.
Begitu bebas dari penjara, ia
tetap bertahan di Kairo. Kesibukannya tercurah untuk mengajar dan mengembangkan
ilmu pengetahuan di Masjid al-Azhar. Di sana, ia antara lain mengajar ilmu
matematika dan fisika.
Al-Haytham sangat produktif dalam
menulis buku. Sejarah mencatat, ia telah menulis tak kurang dari 200 karya.
Semua meliputi banyak bidang, seperti fisika, matematika, rekayasa teknik (engineering),
astronomi, pengobatan, psikologi, anatomi, dan optalmologi (ilmu kedokteran
mata).
Dalam bidang optik, al-Haytham
bahkan digelari ilmuwan zaman
modern sebagai "Bapak Ilmu Optik Modern." Karyanya telah terhimpun
dan masih dapat dijumpai hingga kini, yaitu Kitab al-Manazir,
diterjemahkan jadi The Book of Optics. Buku itu terdiri atas tujuh jilid.
Uniknya, ia menghasilkan karya itu saat sedang dipenjara selama 10 tahun di
Kairo. Buku tersebut menjelaskan ihwal
teori mengenai cahaya. Hipotesisi yang diajukannya terbilang revolusioner dan
mendahului zaman. Sebab, teorinya berbeda dengan teori-teori waktu itu, baik
yang berkembang di dunia Timur maupun Barat.
Sebagai contoh, ia menentang teori
Ptolemy and Euclid yang menganggap, benda dapat terlihat karena cahaya yang
keluar dari mata manusia. Ibnu Haytham menegaskan, bukan itu yang terjadi.
Justru, cahaya datang dan/atau terpantul dari objek yang dilihat. Cahay itu
lalu masuk ke mata sehingga terjadilah aktivitas melihat. Ia tak berhenti pada
gagasan tersebut. Lebih lanjut, al-Haytham pun bereksperimen dengan kamera
lubang jarum (pinhole camera).
Kitab al-Manazir juga menjelaskan teori
tentang pembiasan cahaya. Di dalamnya, al-Haytham menjelaskan ihwal eksperimen
yang dilakukannya dalam memilah cahaya putih menjadi warna-warni pelangi. Ia
juga berjasa besar dalam menjelaskan penggunaan dan mekanisme kerja lensa
cembung (convex), khususnya untuk memperbesar objek yang dilihat.
Prinsip convex yang ditemukan al-Haytham kelak pada abad
ke-13 digunakan untuk membuat kacamata. Kitab al-Manazir sudah
menyinggung berbagai ulasan tentang sifat cahaya, tujuh abad sebelum Sir Isaac
Newton mengulasnya dalam karyanya.
Karena selalu menyajikan hipotesis
dan data dengan berbasis eksperimen, sejarawan juga menggelarinya sebagai
"Ilmuwan Modern Pertama." Dalam hal ini, al-Haytham mempelopori
penggunaan eksperimen dengan parameter yang terkontrol untuk verifikasi atas
sebuah teori. Ia juga kerap memaklumkan pentingnya keraguan sebagai laku kerja
seorang ilmuwan sejati.