Biografi Al Jazari
Pada masa sekarang, robot telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Benda itu mampu menggantikan peran manusia dalam berbagai pekerjaan. Di dalamnya, terdapat seperangkat mesin yang bekerja otomatis untuk menyelesaikan tugas tertentu. Bahkan, tak sedikit di antaranya yang sudah dilengkapi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan terhubung dengan jaringan internet. Alhasil, fungsinya semakin memenuhi kebutuhan banyak orang.
Tahukah Anda siapa yang
pertama kali meletakkan dasar-dasar ilmu tentang mesin robot atau robotika?
Mungkin, sebagian orang akan menyangka bahwa sosok yang dimaksud ialah Leonardo
da Vinci (1452-1519), seorang yang berpengetahuan luas (polymath) dari
Italia zaman Renaisans. Sekitar tahun 1495, pelukis
Mona Lisa itu membuat desain sebuah mesin otomatis yang belakangan disebut
sebagai “ksatria mekanis da Vinci". Malahan, tak sedikit yang
mengeklaimnya sebagai robot-manusia (humanoid) pertama. Padahal,
ada ilmuwan Muslim yang jauh sebelumnya telah menciptakan humanoid.
Sang penemu itu bernama Badiuzzaman Abu al-‘Iz bin Ismail bin ar-Razaz
al-Jazari. Ilmuwan berdarah Turki itu menggunakan prinsip hidrostatis untuk menggerakkan
mesin yang kini disebut sebagai robot.
Sekilas, benda buatannya
itu tampak seperti satu set orang-orangan yang duduk di atas miniatur perahu.
Di antara para “penumpang” replika kapal itu, ada yang menyerupai penabuh drum,
pemetik harpa, pemain simbal, dan peniup seruling. Dengan teknologi hidrolik,
seluruh orang-orangan tersebut dapat bergerak otomatis sembari memainkan
instrumen musik masing-masing. Hebatnya, semua humanoid itu
dapat menghasilkan irama yang merdu. Dengan ciptaannya itu, Ibnu Ismail
al-Jazari memang bermaksud menghibur para pendengar, terutama peserta jamuan
minum di istana kesultanan.
Dalam artikel “The
Mechanical Engineer: Abu'l Izz Badiuzzaman Ismail bin Razzaz al-Jazari”
dijelaskan, sarjana Muslim ini lahir pada 1136 atau kira-kira 3,5 abad
sebelum Leonardo da Vinci. Keluarganya tinggal di daerah antara Sungai Eufrat
dan Tigris, Irak. Ayah dan kakeknya diketahui berprofesi sebagai petani. Alih-alih meneruskan jejak
mereka, dia lebih menyukai berkarier sebagai penulis dan ilmuwan eksperimental.
Sebagian besar usianya dihabiskan untuk belajar. Ia wafat pada 1206. Ada pula
yang menyebut, tokoh ini meninggal dunia dalam usia 70 tahun pada 1220.
Sumber-sumber yang pasti
tentang kelahiran dan kematiannya memang cukup minim. Bahkan, hingga kini
kalangan sejarawan sukar memastikan lokasi tempat kuburannya berada. Sejak berusia anak-anak,
al-Jazari sudah menunjukkan bakat dalam merancang pesawat sederhana. Sebagai
contoh, saat umurnya 14 tahun ia membuat kincir air kecil yang ditarik dengan
tenaga tawon. Saat itu, kakeknya sangat antusias melihat kreativitas cucunya
itu. Akan tetapi, ayahnya kurang
senang. Al-Jazari diharapkan lebih sering pergi ke ladang, alih-alih
menghabiskan waktu di dalam kamar untuk membaca buku.
Ia bergeming. Apalagi,
dukungan tetap diperolehnya dari orang-orang terdekat. Kakeknya bahkan kerap
membawakan buku-buku pinjaman untuk dibaca. Akhirnya, ayahnya menerima dengan
tangan terbuka cita-cita putranya yang ingin menjadi ilmuwan itu. Selama enam tahun, al-Jazari menuntut ilmu
secara autodidak, khususnya dalam bidang keahlian teknik (engineering).
Berbagai pengetahuan mendasar terkait itu didapatnya dari bahan bacaan semata,
seperti teks-teks terjemahan berbahasa Arab atas manuskrip-manuskrip Yunani
Kuno, termasuk risalah hukum Archimedes tentang gaya benda dalam air. Sebelum
mencapai usia akil baligh, al-Jazari sudah dikenal masyarakat lokal sebagai
pembuat mainan anak-anak, semisal kereta-keretaan. Bukan sembarang mainan.
Sebab, benda kreasinya itu dapat maju atau mundur sendiri tanpa harus selalu
digerakkan oleh tangan. Dengan keahliannya itu, ia mendapatkan penghasilan yang
cukup. Reputasinya kemudian sampai ke telinga para pejabat.
Saat berusia remaja, ia
ikut hijrah dengan keluarganya ke wilayah negeri Artuqid, yakni sekitar
perbatasan timur negara Turki modern. Kalangan bangsawan Dinasti Artuqid
terkesan dengan kemampuan al-Jazari. Sebab, dia dinilai benar-benar cemerlang
dalam menciptakan alat-alat mekanis yang bisa menyelesaikan berbagai keperluan
praktis. Pemuda ini lantas ditunjuk sebagai kepala insinyur (rais al-a’mal)
di ibu kota, Diyar Bakr. Donald Routledge Hill, yang telah
menerjemahkan salah satu karya besar al-Jazari ke dalam bahasa Inggris,
menuturkan karakteristik sang Muslim polymath. Menurut Hill, pada
puncak kariernya al-Jazari mengabdi pada Nashiruddin, penguasa Artuqid kala
itu. Selama 25 tahun, dia bekerja sebagai ilmuwan resmi kerajaan. Beberapa
kitab monumental karangannya selesai berkat dukungan penuh raja Bani Artuqid,
seperti Kitab fii Ma'rifat al-Hiyal al-Handasiya (Kitab
pengetahuan tentang rancang bangun mesin). Di dalam buku yang terbit pada 1206
itu, sang alim menjelaskan tentang cara kerja dan langkah-langkah pembuatan
sebanyak 50 pesawat mekanis.
Hill mengatakan, dalam
pengertian modern sosok al-Jazari lebih tepat digolongkan sebagai insinyur
praktis, alih-alih penemu yang merancang alat dari nol. Sebab, sejumlah
perangkat yang diciptakannya berangkat dari telaah sendiri atas berbagai
penemuan sebelumnya. Dengan merujuk pada teori-teori fisika tertentu, dia dapat
membuat alat baru yang lebih presisi. Sebut saja, salah satu
karyanya yang berupa satu set robot pemain musik di atas miniatur perahu.
Orang-orangan yang duduk pada benda itu otomatis mengeluarkan irama yang merdu
tiap satu jam sekali. Seluruh humanoid itu
dapat bekerja karena terhubung dengan serangkaian piston dan kabel yang
digerakkan oleh air. Untuk membuat rancangan alat ini, al-Jazari mengaku
terinspirasi jam air dari teori Archimedes.
Selain itu, tiga orang
ilmuwan Muslim yang satu generasi di atasnya juga menjadi inspirasinya, yakni
Banu Musa Bersaudara. Tentu saja, al-Jazari telah melalui kerja keras sebelum
menghadirkan pelbagai perangkat karyanya. Ia pertama-tama harus memahami
sejumlah teori fisika yang berkaitan dengan rancangannya. Setiap alat mekanis
yang diciptakannya lahir dari eksperimen panjang. Bukan sekali uji lantas
berhasil seketika. Ada proses yang panjang sebelum akhirnya alat-alat itu
bekerja sesuai harapan. Hingga akhir hayatnya, ia telah menghasilkan lebih dari
174 gambar rancangan perangkat mekanis (ashkal). Sebanyak 80 gambar di
antaranya, termasuk yang dimuat dalam Kitab fii Ma'rifat, pernah
dibuat dalam bentuk riilnya. Buku itu pun ditulis atas permintaan Sultan
Nashiruddin, yang ingin agar sang ilmuwan mengabadikan penjelasan tentang
benda-benda ciptaannya.
Dengan begitu, para sarjana
di kemudian hari dapat menelaahnya dan mengambil inspirasi darinya. Terbukti,
bahkan delapan abad sesudah kematiannya, Kitab fii Ma’rifat masih
menjadi bacaan para akademisi dan insinyur dunia. Al-Jazari pun didaulat
sebagai Bapak Robotika atau pelopor ilmu teknik modern. Banyak alat canggih yang
biasa dijumpai hari ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari rancangan
karya al-Jazari. Misalnya, roda katrol besar yang bertumpu pada keseimbangan
statis, alat kalibrasi, laminasi kayu, serta roda gerigi untuk memindahkan
putaran atau gaya dari dua poros berbeda.
Satu lagi konsep rancangan buatannya yang masih
diterapkan hingga kini ialah alat mencuci tangan atau wastafel. Alat ini
dirancang al-Jazari atas permintaan raja Artuqid yang merupakan patronnya. Sang
sultan ingin agar kompleks istananya menjadi tempat yang nyaman bagi siapapun
untuk mengamalkan salah satu kebiasaan islami: menjaga kebersihan. Alat
tersebut tidak hanya dipakai untuk mencuci tangan, tetapi juga berwudhu.
Memang, pemimpin Muslim ini gemar mempertahankan wudhu antarwaktu shalat. Peralatan ini merupakan
hasil pemikiran yang jenius. Sejarawan sains Mark E Rosein mengakui alat
rancangan al-Jazari sebagai cikal-bakal wastafel modern. Sebab, prinsip
kerjanya serupa dengan yang biasa ditemui pada zaman sekarang. Misalnya, adanya
mekanisme keran pembersih (flush) untuk keperluan membasuh tangan.
Sarjana Muslim ini diketahui memakai teknik demikian dalam menghasilkan
kreasi-kreasi lainnya, semisal air mancur ataupun jam air.
Ehsan Masood dalam Science and Islam: A
History (2009) menjelaskan gagasan yang diterapkan pada mekanisme
wastafel karya al-Jazari. Tekanan air dimanfaatkan untuk otomatisasi keluarnya
air sesuai kebutuhan pengguna. Pada alat pencuci tangan buatan sang insinyur
dari abad ke-12 ini, terdapat wadah untuk menampung air. Di atasnya, diletakkan
sebuah cawan besar yang tampak cantik karena dipegang patung berbentuk sosok
perempuan. Cawan berfungsi sebagai keran tempat air keluar. Air itu diambil
dari sumbernya dan diterik dengan mekanisme tekanan air pula.
Siapapun yang ingin
membasuh tangannya, cukup menarik tuas. Secara otomatis, air akan mengucur dari
cawan tadi ke arah penadah air. Selain untuk mencuci tangan atau muka, alat ini
juga kerap dipakai untuk berwudhu. Alhasil, kebermanfaatannya tidak hanya untuk
kalangan istana, tetapi juga publik, khususnya jamaah masjid seantero negeri
Artuqid. Mencuci tangan tak sekadar
mengalirkan air bersih. Peradaban Islam pada masa itu pun sudah mengenal sabun.
Maka, al-Jazari membuat tempat sabun di sisi wastafel karyanya. Uniknya, tempat itu sengaja
dirancang dengan apik, yakni berbentuk burung merak. Ia memang terinspirasi
akan keindahan burung berekor bak kipas itu. Tak lupa, tempat handuk kecil pun
dipasang di dekatnya.